Tampilkan postingan dengan label Book. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Book. Tampilkan semua postingan

Review Buku Goodbye, Things: On Minimalist Living (Hidup Minimalis ala Orang Jepang) by Fumio Sasaki

2 comments
Review Buku Goodbye, Things: On Minimalist Living (Hidup Minimalis ala Orang Jepang) by Fumio Sasaki via amazon.com

Seni hidup minimalis dikenal mulai jadi tren sejak kemunculan Marie Kondo dengan metode Kon Mari-nya. Banyak yang tertarik untuk menerapkan metode Kon Mari apalagi setelah booming buku The Life-Changing Magic of Tidying Up atau Seni Beres-Beres dan Metode Merapikan ala Jepang yang juga ditulis oleh Marie Kondo. Tak hanya itu saja, bahkan Netflix juga memiliki series serupa, yaitu Tidying Up With Marie Kondo.

Tidying Up With Marie Kondo via Konmari.com
Well dengan massive-nya ‘serangan’ dari Marie Kondo membuat saya berpikir skeptis, lah seni hidup minimalis harus banget nih diajarin? Harus banget nih kita baca buku yang membuat kita hidup minimalis? Karena dalam sehari-hari saya merasa selalu menerapkan gaya hidup tersebut, jauh sebelum Marie Kondo ‘menyerang’. Bahkan konsep hidup minimalis telah diajarkan oleh film Fight Club yang telah tayang pada tahun 1999.

Nah, berbekal dari adanya pikiran skeptis tentang seni hidup minimalis yang tren, saya jadi penasaran, mengapa metode dari Marie Kondo ini laris dan diterima banyak orang. Oleh karena itu, saya mencoba membaca bukunya dengan meminjam secara gratis di aplikasi Ipusnas. Namun, saya kurang suka membaca buku dari Marie Kondo ini, karena terasa agak mendikte hehe. Oleh karena itu, saya memilih membaca buku Goodbye, Things: Hidup Minimalis ala Orang Jepang dari Fumio Sasaki yang juga terinspirasi dari metode Marie Kondo ini. Saya meminjam buku Goodbye, Things: Hidup Minimalis ala Orang Jepang dari Fumio Sasaki lewat aplikasi Ipusnas, tapi sayangnya cuma ada 1 buku yang tersedia haha, jadi ya harus cepat dibaca biar cepat selesai soalnya sering kehabisan dan akhirnya antri untuk pinjam lagi.

Buku Goodbye, Things: Hidup Minimalis ala Orang Jepang dari Fumio Sasaki dibuka dengan serangkaian gambar atau foto yang menggambarkan potret kehidupan sebelum dan sesudah menerapkan metode hidup minimalis, baik dari yang dialami, atau orang lain yang telah menerapkan metode tersebut.

Kita selalu berpikir dengan memiliki banyak harta benda, maka hidup kita akan semakin bahagia. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi besok lusa, oleh karena itu kita mulai membeli banyak barang dengan alasan, ”Ya siapa tahu butuh” haha. Fumio Sasaki mengungkapkan bahwa dengan adanya pikiran memiliki banyak harta benda akan membuat hidup lebih bahagia, maka kita membutuhkan lebih banyak uang untuk membeli barang-barang tersebut. Kemudian, kita mulai menilai orang lain berdasarkan berapa banyak uang yang mereka punya. Kita juga mulai berpikir bahwa uang dapat menyelesaikan sebagian besar masalah kita. Kita dapat memengaruhi pendapat orang lain jika memiliki uang yang lebih banyak, dan jika pendapat orang lain bisa dibeli maka kita yakin akan mendapatkan kebahagiaan. Dan seterusnya.

Fumio Sasaki dalam  buku ini menceritakan pengalaman dirinya yang selalu membeli banyak barang untuk meningkatkan kepercayaan diri dan kebahagiaannya. Ia mengoleksi seperti buku-buku, gitar, serta kamera antik yang ia yakini akan membuatnya terlihat sebagai sosok pria yang memesona. Pada waktu yang sama, Fumio Sasaki juga membandingkan dirinya dengan orang lain yang memiliki sesuatu lebih baik dan lebih banyak daripada dirinya. Pada akhirnya, Fumio Sasaki sampai frustasi hingga menyesal menekuni pekerjaan yang dulu ia impikan, berteman dengan alkohol dan putus dengan kekasihnya.

“The things you own, end up owning you”- Tyler Durden, Fight Club
Oleh karena itu, Fumio Sasaki mulai membuang dan menjual berbagai barang yang ia koleksi. Ia juga perlahan mulai memahami apa definisi dari bahagia. Setiap orang berhak untuk bahagia, namun memperoleh kebahagiaan dengan cara membelinya hanya akan membuat kita cepat bosan dan rasa bahagia itu tidak tahan lama.

“You’re not your job. You’re not how much money you have in the bank. You’re not the car you drive. You’re not the contents of your wallet. You’re not you f*cking khakis.” – Tyler Durden, Fight Club
Membaca pengalaman Fumio Sasaki, membuat saya teringat dengan diri saya sendiri yang ternyata nggak minimalis-minimalis amat. Saya sering membeli banyak buku namun hanya sedikit yang saya habiskan. Saya berpikir dengan memiliki banyak buku, saya bisa lebih bahagia, karena punya stok banyak bahan bacaan di rumah. Tapi ternyata, kebahagiaan itu hanya terasa sebentar. Suatu saat saya bosan dan tidak tertarik untuk membaca buku yang sudah saya beli tadi. Akhirnya saya membeli buku yang lebih baru lagi dan seterusnya. Selain itu, barang-barang itu juga akan menyita tempat di kamar saya sehingga kamar terasa semakin sempit.

Di buku ini, Fumio Sasaki juga memberikan tips dan cara untuk bijak membuang atau mengurangi barang di rumah kita. Tak hanya itu, manfaat dengan adanya memiliki sedikit barang juga ia jelaskan di buku ini, salah satunya adalah: mudah dan cepat membersihkan kamar atau rumah.

Buku Goodbye, Things: Hidup Minimalis ala Orang Jepang  ini saya habiskan dengan waktu relatif cukup singkat, mungkin sekitar 3 hari. Ternyata, Fumio Sasaki juga sering menyelipkan quote dari Tyler Durden di film Fight Club di buku ini hehe. Jadi mungkin saya merasa related dan akhirnya juga tergerak untuk menerapkan gaya hidup minimalis ini.

Tertarik untuk membaca buku Goodbye, Things: Hidup Minimalis ala Orang Jepang dari Fumio Sasaki? Kamu bisa mendapatkannya di toko buku terdekat, atau meminjam di Ipusnas. Selamat membaca!

Persepolis: Kisah Masa Kecil by Marjane “Marji” Satrapi

11 comments
Persepolis via dfuse.in

Persepolis adalah memoar Marjane Satrapi saat tumbuh besar di Iran semasa Revolusi Islam. Melalui goresan hitam-putih, Marji yang cerdas dan tak ragu mengungkapkan pikirannya menceritakan kisah hidupnya di Teheran waktu dia berusia enam hingga empat belas tahun. Kehidupan masa kecil Marji terjalin erat dengan sejarah negerinya, dia menyaksikan rezim sang shah berakhir, kemenangan Revolusi Islam dan akibat mengerikan perang dengan Irak.

Saya mengenal Persepolis kira-kira lima tahun yang lalu ketika saya mulai menginjak bangku perkuliahan. Waktu itu saya tertarik dengan film Persepolis yang ditayangkan salah satu tv swasta dan jujur saja saya tidak begitu mengerti maksudnya. Saya hanya menangkap, film ini sangat bagus, walau belum mengerti sepenuhnya isi dari film ini. Film Persepolis sendiri sudah banyak mendapatkan penghargaan, diantaranya adalah Cannes Film  Festival tahun 2007 dan sempat mendapat nominasi dalam kategori film animasi terbaik Academy Award. Tidak lama kemudian, di kampus saya menyelenggarakan sebuah book sale, dan ada buku Persepolis yang harganya hanya sepuluh ribu rupiah, tanpa pikir panjang langsung saya ambil dan bayar ke kasir. Sayangnya, saya tidak sempat membacanya hingga kemarin, tanggal 27 Oktober 2016 ini. Sebuah penyesalan yang amat sangat mendalam.

Bab pertama dibuka tentang pengenalan Marji (panggilan Marjane Satrapi) dengan jilbab. Ketika umur 10 tahun, sekolah bilingual tempatnya ditutup karena merupakan simbol kapitalisme, serta mulai dilakukan aturan penggunaan jilbab. Marji sangat bingung harus berpendapat bagaimana tentang jilbab, karena di dalam dirinya dia mengaku sangat religius, namun keluarga Marji sangat modern dan avant-grade. Saya berpendapat, Marji berpikir lebih dari orang-orang sebayanya. Dia selalu memikirkan orang lain, tentang pembantunya yang makan terpisah dengan keluarganya, neneknya yang mengalami sakit lutut, oleh karena itu Marji memutuskan bercita-cita menjadi Nabi. Pada bagian ini saya mulai tertawa melihat kelakuan Marji yang sangat menggemaskan, tapi saya tidak jadi melakukannya mengingat usia Marji sekarang mungkin sudah seusia ibu saya :(. Hingga suatu hari, ketika gurunya bertanya apa cita-citanya, yang langsung dijawab Marji dengan mantap: Nabi!, yang berujung dipanggilnya orang tua Marji ke sekolah. Hal yang membuat saya salut adalah ketika gurunya melapor pada orang tuanya, orang tua Marji sangat tidak ambil pusing dengan pola pikir Marji, dan malah memberinya banyak buku sehingga Marji lebih tercerahkan. Marji mengetahui tentang anak-anak di Palestina, Fidel Castro, tentang para pemuda Vietnam yang dibunuh orang Amerika, tentang pejuang revolusi Iran, dan tentang Marx dan Descartes.

Marji ketika menyatakan cita-citanya 

Marji mengetahui bahwa kedua orang tuanya berdemo karena pemerintahan yang terjadi sangat tidak adil. Di satu sisi, orang tua Marji juga melakukan double standard terhadap pembantunya, Mehri, seperti pemisahan tempat ketika makan, atau melarang Mehri untuk memiliki hubungan kekasih dengan tetangganya, karena Mehri hanya seorang "pelayan". Pada malam itu, Mehri menangis di kasur Marji.
"Kami tidak berada dalam kelas sosial yang sama, tapi setidaknya kami di ranjang yang sama."
Tidak hanya bab pertama yang menarik, secara keseluruhan, novel berbentuk novel grafis ini sangat luar biasa. Kisah masa kecil Marjane Satrapi sangat menarik untuk disimak, bahwa dia hidup ketika perang antara Irak dan Iran terjadi. Doktrin yang disampaikan di sekolah, selalu ditolak oleh Marji, karena Marji sendiri tahu akan kebenarannya. Hal ini yang kemudian dikhawatirkan oleh ibunda Marji, karena ibunya mengerti nasib yang akan diterima Marji jika dia ditangkap petugas pengawal revolusi, yaitu sebelum dihukum mati, petugas tersebut akan "menikahinya" dengan mas kawin hanya 500 tuman. Sangat murah sekali jika dibandingkan harga jeans Marji yang harganya 1000 tuman. Oleh karena itu, di akhir buku Persepolis yang pertama, Marji diperintah ibunya untuk pindah ke Austria. Pada saat malam sebelum keberangkatannya ke Austria, dia tidur dengan neneknya yang memberi nasihat sangat bijak

"Dalam hidup kau akan bertemu banyak orang jahat. Kalau mereka menyakitimu, katakan pada dirimu sendiri, itu karena mereka bodoh. Hal itu akan membantu mencegahmu bereaksi pada kekejaman mereka. Karena tidak ada yang lebih buruk daripada kebencian dan balas dendam. Selalu jaga martabatmu dan jujurlah pada dirimu sendiri."
Nasihat dari nenek Marji menurut saya sangat tepat tidak hanya untuk Marji, tapi juga untuk kita semua. Bahwa kita hidup berdampingan, tidak mungkin jika kita hidup selalu dalam keadaan damai. Namun kita tidak selayaknya untuk membalas dendam atau berbuat sesuatu berdasarkan kebencian. Mungkin nasihat dari nenek Marji dapat mencegah kita untuk saling memusuhi sesama manusia, seperti yang sekarang sering terjadi. Well, selamat membaca dan menonton Persepolis :)


Sejarah yang Tak Lengkap

16 comments

Saya sering menikmati membeli buku tanpa membaca resensinya terlebih dahulu. Seringkali dengan hanya melihat cover buku dan foto buku yang artsy di Instagram membuat saya tergoda untuk memilikinya. Persis seperti orang lain yang tergoda membeli peralatan make up, tas, baju, sepatu dan gadget, hanya saja saya lebih tergoda dengan buku.

Perbudakan Seksual via Susano Books

Perbudakan Seksual, Perbandingan Antara Masa Fasisme Jepang dan Neofasisme Orde Baru yang disusun oleh Anna Mariana terbitan Marjin Kiri, salah satu buku yang sejak dulu saya incar namun belum tahu kapan bisa memilikinya. Beruntung, seorang kawan memberikan buku ini sebagai kado wisuda saya. Awalnya, saya pikir buku ini tentang perbudakan seksual namun dengan arti tersirat, namun ternyata buku ini menyajikan sejarah dan narasi secara tersurat. Tentang wanita yang dijadikan budak seks ketika masa peperangan.

Saya teringat ketika pelajaran sejarah semasa sekolah. Sejak SD sampai SMA, diceritakan bahwa penjajahan Jepang lebih kejam dibandingkan dengan penjajahan Belanda. Romusha, istilah kerja paksa yang diperintahkan pemerintahan Jepang bagi warga negara Indonesia. Belakangan, menurut buku ini, saya sadar. Ada yang absen untuk diceritakan, mungkin karena persoalan yang dianggap “tabu” jika harus berkata sejujurnya kepada anak sekolahan. Kerja paksa seksual, atau menjadi budak seks yang dikenal dengan jugun ianfu (perempuan penghibur).

Seluk beluk perihal jugun ianfu hampir-hampir tidak pernah mewacana dalam narasi utama historiografi kita. Penulisan sejarah tentang masa penjajahan Jepang didominasi oleh kisah mengenai kekerasan terhadap golongan Islam, “pemasungan” media massa, hingga pengerahan tenaga kerja romusha, tetapi dampak luka perang yang secara khusus dialami oleh para perempuan nyaris tak tercatat. Telah ada testimoni mantan jugun ianfu yang berani mengungkapkan kisahnya, tetapi upaya penempatan kisah ini dalam sejarah belum banyak berpihak pada korban. Kekerasan yang dialami para perempuan muda pada masa penjajahan Jepang yang kini telah menjadi nenek-nenek itu belum dihargai atau pun ditulis dengan baik.

Perempuan memang rentan menjadi korban dalam peristiwa kekerasan yang mengiringi transisi politik. Dalam buku ini diperlihatkan kekerasan terhadap perempuan Tionghoa pada kerusuhan Mei 1998 yang tidak jauh berbeda dengan kasus pembantaian anggota PKI dan perkosaan yang dialami oleh para tapol (tahanan politik) perempuan dalam peristiwa tahun 1965.

Saya jadi teringat ucapan dr. Sienna Brooks, salah satu tokoh dalam novel karangan Dan Brown, Inferno.
“Pikiran manusia memiliki mekanisme pertahanan ego primitif yang menafikan semua realitas yang menimbulkan terlalu banyak ketegangan untuk ditangani otak. Mekanisme itu bernama penyangkalan. Penyangkalan adalah bagian penting dari mekanisme penyesuaian diri manusia. Tanpanya, kita akan terjaga setiap pagi dengan perasaan tegang tentang berbagai kemungkinan cara kita akan mati. Alih-alih, pikiran kita memblokir ketakutan eksistensial kita dengan berfokus pada stres yang dapat kita tangani. Seperti tiba di kantor tepat waktu atau membayar pajak. Jika kita memiliki ketakutan yang lebih luas dan eksistensial, kita membuangnya dengan segera, berfokus kembali pada tugas-tugas sederhana dan hal remeh-temeh sehari-hari.” 
Namun sayang, wacana agar kasus jugun ianfu, korban kerusuhan, dan tapol 1965 untuk dimasukkan dalam buku sejarah masih harus melewati jalan terjal yang perlu perjuangan panjang. Mungkin, bangsa ini masih berusaha menyembuhkan luka lama yang pernah terjadi, dengan menyangkalnya atau belum menceritakannya. Paling tidak, dengan adanya buku ini menjelaskan bahwa nasib jugun ianfu, tapol dan korban kerusuhan kepada perempuan adalah nyata.

Review: Ada Apa dengan Cinta?

4 comments
Ada Apa dengan Cinta via cnnindonesia.com
Setelah baca tulisan Mas Haris yang suka bikin parodi ini, saya jadi tergelitik untuk beli novel Ada Apa Dengan Cinta. Hal ini disebabkan karena nyari filmnya enggak nemu-nemu. *Dari kejauhan terdengar seruan tengkulak film downloadan mengejek, bilang gue anak cupu huuhuuu*.

Cinta merupakan harapan bagi setiap gadis yang sedang beranjak dewasa, atau paling tidak yang sedang ingin secepatnya dewasa. Cantik, jago bikin puisi, anggota mading (majalah dinding), punya gank atau peer group yang terlihat solid dan populer. Kalo jaman sekarang, Cinta pasti punya akun Instagram dengan sekian ribu followers, dan diendorse banyak label baju, jilbab, mukena, hingga anting-anting pom-pom. Oh, diendorse toko buku online pasti, karena Cinta sangat menyukai buku, apalagi sastra. Oiya, pasti Cinta juga punya akun ask.fm dengan sekian ribu atau puluh ribu answer yang telah dijawabnya, serta bujukan untuk pap dari anon-nya, "Lagi baca buku apa Cinta?" , "Udah deket sama Borne berapa bulan Ta? Foto sama Borne dong Ta", "Ta, kemaren gue liat lo ama anak gondrong baca buku KUA itu, siapa sih Ta?".

Dari tokoh Cinta sendiri, gue salut sama mbak Silvarani, yang "menggariskan" Cinta untuk aktif di ekskul Mading. Karena stereotype anak gaul SMA dari dulu sampai sekarang, "cewek gaul" itu masuknya Cheerleader, bukan masuk Mading yang dimana orang-orang dibalik bagusnya Mading kadang tidak terlihat. Mading yang bermutu dilihat dari kontennya, bukan dari cantik atau tidaknya kru yang bertugas dibaliknya. 

Komentar saya, bukunya asik, tidak sampai tiga jam buku setebal 186 halaman sudah saya habiskan.
Melalui film serta novel Ada Apa dengan Cinta, gue setuju dengan pendapat Mas Bogi bahwa terdapat selipan kritik mengenai hal-hal yang dianggap "kiri", gambaran orang-orang bereaksi dengan sesuatu yang berani mengkritik pemerintah, dan akibat yang didapat dari keberaniannya tersebut. Film dan novelnya menyajikan hal tersebut dengan cara yang halus dan menyenangkan, namun sayangnya dulu ketika gue masih kelas 5 SD, masih enggak ngerti, baru kali ini ketika sudah hampir 5 tahun kuliah baru ngerti (hehe).

Buku dan film menyajikan jalan cerita yang hampir sama, namun buku memang selalu memiliki aura tersendiri. Ketika kita membacanya, kita juga akan ikut membayangkannya. Well, selamat membaca!

Tentang Garis Batas

9 comments
Iron Fence via pixabay.com

“Garis Batas! Seperti halnya gravitasi dan oksigen, garis batas tidak terlihat, namun setiap langkah dan embusan napas kita dipengaruhi olehnya. Pola pikir kita, uang yang kita pegang, bendera yang berkibar, kebanggaan yang melingkupi hati, sejarah yang kita kenang, saudara-saudari yang kita sebut sebagai sebangsa, kartu identitas, pendidikan, status, ideologi, nasionalisme, patriotisme, perjanjian, traktat, perang, pembantaian etnis, kehancuran, semuanya adalah produk garis batas.” –Agustinus Wibowo

Saya mulai mengetahui mengenai Agustinus Wibowo melalui sebuah acara talkshow di salah satu tv swasta malam hari itu. Saya takjub dengan kenekatan Agustinus Wibowo yang berani untuk berkunjung ke negeri-negeri “rawan” yang mungkin jarang dilirik kita untuk “berwisata”. Hal tersebut yang membuat saya berkeinginan untuk membaca buku yang sudah dibuat oleh Agustinus Wibowo.

Garis Batas, merupakan buku kedua lanjutan dari buku Selimut Debu. Agustinus Wibowo dalam buku ini berkisah mengenai perjalanannya di negara pecahan Uni Soviet seperti Tajikistan, Uzbekistan, Kazakhstan, Turkmenistan, dan sebagainya. Menarik sekali hal-hal yang disampaikan oleh Agustinus Wibowo dalam buku ini, membuat saya semakin eman-eman untuk merampungkannya. Ajaib, dari tiga buku karya Agustinus Wibowo, yang selesai terlebih dahulu saya rampungkan adalah Garis Batas ini.

Garis Batas menyajikan konflik yang khas antara negara dan perbatasan tiap negara. Apalagi, negara tersebut adalah negara pecahan Uni Soviet. Bagaimana kita sesosok manusia kecil tak berdaya memiliki nasib yang berbeda sejak lahir, karena perbedaan yang tidak dapat kita pilih; warna kulit dan kebangsaan. Warga negara X mungkin memiliki nasib yang berbeda dengan warga negara Y. Bahkan, ada pula yang tidak memiliki kewarganegaraan.

Garis Batas membuat kita mengintip sedikit tentang masalah perbatasan. Setelah Uni Soviet bubar, muncul negara baru, yang berakhiran dengan nama –stan, yang berarti daerah. Uzbekistan, daerah suku Uzbek, Tajikistan, daerah suku Tajik, dan sebagainya. Pengelompokan daerah tersebut juga berdasarkan mayoritas suku yang mendiami daerah tersebut. Selain itu, di buku ini juga dibahas betapa banyak orang yang berlomba mengakui tokoh penting sebagai orang dari bangsanya.

Setiap warga negara, pasti membayangkan betapa enaknya menjadi warga negara lain, selain yang dia punya. Orang yang tinggal di daerah beriklim dingin, pasti merindukan kehangatan daerah iklim tropis. Sebaliknya, orang yang tinggal di daerah tropis, sangat menginginkan bagaimana dinginnya salju ketika turun. Seperti digambarkan di buku ini, orang Afghanistan ingin ke Tajikistan, eh Tajikistan ingin ke Rusia, orang Rusia ingin ke Amerika, orang Amerika ingin ke luar angkasa.
"Mimpi orang Afghanistan adalah Tajikistan, karena Tajikistan berlimpah listrik dan perempuan. Mimpi orang Tajikistan adalah Rusia, karena di sana banyak lapangan kerja dan uang. Mimpi orang Rusia adalah Amerika Serikat, karena di sana penuh gemerlap modernitas dan kebebasan. Mimpi orang Amerika? Mereka yang berada di puncak dari segala mimpi, ternyata masih punya mimpi yang lebih tinggi lagi, pergi ke luar angkasa."-Agustinus Wibowo
Manusia memang tidak pernah puas. Mungkin itu adalah salah satu fitrah manusia, agar terus menerus melakukan penelitian dan inovasi. Seperti penemuan manusia akan internet, dahulu kala perangko memiliki fungsi sebagai gambaran akan sebuah negara. Sekarang, kita tinggal search melalui mesin pencari, dan tadaaa semua informasi akan tersaji secara cepat!

Kembali ke garis batas, karena perbedaan bahasa, ada yang merasa superior dan ada yang merasa inferior. Karena perbedaan warna kulit, ada yang bisa kebal hukum, ada yang selalu dijadikan bahan hinaan. Karena perbedaan warga negara, ada yang bisa selalu beruntung, ada yang selalu kepentung karena kewarganegaraannya.  Mungkin benar yang dikatakan Bruce Wayne di Gotham Series, "I wish you were a monster, but you are just a man." Padahal, setahu saya, kita semua manusia.