Hiruk Pikuk Antara Media Massa, SGRC dan Birokrasi di Mata Seseorang yang Jauh Sekali

5 comments


“Grup Konseling LGBT Muncul di Kampus UI” judul sebuah artikel di halaman depan surat kabar Republika Jumat tanggal 22 Januari 2016 lalu, membuat saya cukup tertarik. Republika menyatakan bahwa terdapat sebuah poster yang tersebar di dunia maya, menawarkan layanan konseling terhadap kaum lesbian, gay, biseksual dan transgender. Poster yang dikabarkan “melayani” konseling tersebut dikelola oleh Support Group and Resource Center on Sexuality Studies (SGRC) University of Indonesia. Selain itu, di poster tersebut dipampang testimoni dua mahasiswa serta dua alumni UI beserta foto mereka.

Pada artikel yang diterbitkan oleh Republika tersebut dikabarkan bahwa Rektorat UI “menentang” adanya SGRC-UI. Dalam sebuah surat keputusan yang disebarluaskan oleh website uiupdate.com Kepala Humas dan KIP UI menjelaskan bahwa :

1. Dalam menyelenggarakan kegiatannya, SGRC tidak pernah mengajukan izin kepada pimpinan Fakultas maupun UI ataupun pihak berwenang lainnya di dalam kampus UI.
2. UI tidak bertanggung jawab atas segala kegiatan yang dilakukan oleh SGRC
3. SGRC tidak memiliki izin resmi sebagai Pusat Studi/Unit Kegiatan Mahasiswa/Organisasi Kemahasiswaan baik di tingkat Fakultas maupun UI
4. Untuk itu, dengan tegas UI menyatakan SGRC tidak berhak menggunakan nama dan logo UI pada segala bentuk aktivitasnya.

Berdasarkan keterangan dari website tersebut bisa ditarik kesimpulan, bahwa SGRC belum mengajukan izin kepada pimpinan fakultas maupun UI ataupun pihak berwenang lainnya di dalam kampus UI. Namun, ketika membaca artikel dari Suara Mahasiswa terdapat pernyataan bahwa SGRC UI merupakan organisasi tingkat universitas yang fokus membahas isu-isu seksualitas secara akademis. Lho, ternyata udah tingkat universitas? Tapi ternyata rektorat UI membantah pernah memberikan izin kepada SGRC UI ini. Masalah ini sampai membuat Menristekdikti kita berang dan menuntut perguruan tingi harus bergerak menyelesaikan segala bentuk penyimpangan sosial.

Jika kita cermat melihat, sebetulnya tiga pihak tadi menyoroti hal yang berbeda. Republika sepertinya cenderung menyoroti persoalan LGBT dibandingkan dengan SGRC-UI, pihak UI menyoroti perihal izin resmi dari berdirinya SGRC-UI, sedangkan SGRC-UI bingung sudah tersorot dimana-mana sebagai komunitas yang isinya orang LGBT, sehingga tujuan asli pembentukan SGRC UI menjadi kabur. Padahal SGRC ini adalah suatu komunitas dimana terdapat diskusi perihal LGBT secara akademik. Di website resmi SGRC UI, sgrcui.wordpress,com Firmansyah selaku co-founder SGRC UI menyatakan bahwa SGRC-UI adalah komunitas/kelompok kajian yang dibangun secara otonom, sama seperti kelompok kajian lainnya. SGRC-UI bukan komunitas kencan atau tempat mencari jodoh bagi kelompok LGBT. SGRC-UI merupakan kelompok kajian yang membahas isu gender dan seksualitas secara luas. Feminisme, hak tubuh, patriarki, gerakan pria, buruh dan wanita, kesehatan reproduktif, serta isu-isu lain yang terkait dengan gender dan seksualitas merupakan fokus kajian sehingga mereka menolak jika komunitas kajian ini dikerdilkan dengan anggapan mereka adalah komunitas yang berisi orang LGBT. Ketika kita berdiskusi dengan beberapa teman kita tentang LGBT, apakah kita bisa dianggap orang LGBT? Ya enggak tho. Apabila kita berbicara persoalan atheis, apakah bisa disebut kita sebagai orang atheis? Ya enggak juga kan.

Solusinya, lebih baik kita melonggarkan dada, njembarne ati ketika memandang masalah seperti ini. Pihak Republika yang menjadikan berita ini sebagai headline, sepertinya juga harus lebih cermat dalam pemilihan kata, serta redaksional tiap kalimatnya. Bukannya diawal membicarakan SGRC-UI kok ujung-ujungnya membahas haramnya LGBT, bukannya itu sudah jauh sekali? Headline selama tiga hari berturut-turut sejak tanggal 22 sampai tanggal 24 Januari 2016, tampaknya Republika juga lebih menitikberatkan pada LGBT, bukan pada SGRC-UI. Selain Itu berita pada tanggal 24 Januari 2016, Republika menyarankan bahwa pemerintah perlu menyediakan fasilitas konseling. Ketua Nuansa Islam (Salam) UI Rangga Kusumo juga menilai bahwa sarana konseling sangat dibutuhkan menghadapi maraknya LGBT, agar saudara yang sedang mengalami konflik batin dalam masalah seksual mudah mendapatkan akses untuk bercerita, karena mereka juga bagian dari masyarakat, tuturnya kepada Republika. Lho, bagaimana ini Republika, SGRC-UI ini kan juga sarana konseling juga.

Bagi kakak-kakak SGRC-UI juga sebaiknya njembarne ati, lan ndawakake usus karena LGBT merupakan suatu kata singkatan yang berat sekali dipahami masyarakat kita. Mengucapkan LGBT seolah mengucapkan kata pisuhan, kalau bagi orang Jawa. Sampai-sampai ketika ada broadcast tentang LGBT, dan bertanya LGBT itu apa, ketika disebutkan kepanjangan dari LGBT langsung istighfar dan tutup telinga. Kata “LGBT” merupakan kata yang sensitif seperti sensitifnya kata “sex” bagi masyarakat yang sering bertaklid buta, ngeiyain aja biar cepet, yang enggak suka baca buku dan diskusi. Begitu. Toh kabarnya di surat kabar Republika ini Rektor UI, Muhammad Anis juga tidak keberatan ada SGRC. Asalkan enggak menggunakan sebutan UI pada komunitas tersebut. Karena dengan sebutan “UI” di belakang suatu organisasi, maka universitas juga harus bertanggung jawab kalau terjadi apa-apa terhadap organisasi tersebut. Pun juga berlaku apabila organisasi tersebut mendapatkan prestasi, juga turut menaikkan nama universitas, malahan organisasi tersebut bisa dapet penghargaan.

Jadi bagaimana kakak, monggo njembarne ati lan ndawakake usus sareng-sareng.


image source : www.bettycrocker.com

5 komentar:

  1. Isu LGBT di Indonesia terlalu cepat. Republika bilang LGBT tak sesuai dengan tradisi Islam dan Indonesia, sebabnya ya karena aktivis LGBT terbang ke negeri-negeri yang jauh demi mencari landasan teoretis untuk argumentasi mereka, tapi lupa menjejakkan kaki di sini. Padahal kalau digali, tradisi Islam dan Indonesia tak pernah bersih dari LGBT. Para sahabat Nabi banyak yang punya tendensi gay, ekspresi kecintaan mereka pada Nabi terlalu romantis untuk dibilang sekadar "teman". Di Indonesia, jangan tanya, di kitab-kitab kuno pun sudah ada kecenderungan ke sana. Aktivis LGBT kita saja yang belum melacak sampai ke sana. Begitu, Kak Justin :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Oh begitu ta. makasih banyak share ilmunya mas. Sering-sering ya mas :D

      Hapus